Beberapa minggu terakhir ini muncul acara TV yang cukup unik, dengan judul Tukar Nasib. Alkisah dua keluarga dengan latar belakang ekonomi yang kontras, diberi kesempatan menukar status mereka. Mulai dari rumah dengan segala isinya, mobil, bahkan pekerjaan ikut ditukar.
Semisal seorang tukang kebun bertukar status dengan seorang direktur perusahaan. Maka semenjak hari itu si tukang kebun dan keluarganya akan menempati rumah sang direktur. Terlihat di Televisi bagaimana polos dan bingungnya mereka ketika dihadapkan dengan rumah megah, kasur empuk, bahkan mungkin kolam renang. Ada sebuah adegan (yang menurut saya dibuat-buat), si miskin bingung mendengar bunyi telepon, dan ketika mengangkat gagang telepon pun terbalik. Atau adegan si ibu dan anaknya yang clingak clinguk dengan suasana mewah yang tidak biasa mereka hadapi.
Di sisi lain, sang Direktur dan keluarganya akan menempati gubuk reyot milik si tukang kebun. Berlantaikan tanah, kasur bambu, nyamuk sliwer sana sini, dan ada kandang kambing di samping kamar. Si anak menangis karena tidak betah. Sehari-hari mereka berkebun, memelihara kambing, menyabit rumput dan aneka pekerjaan lain yang lumrah dilakukan di pedesaan.
Selama beberapa waktu mereka akan tinggal disana, sampai waktu yang ditentukan tiba dan mereka kembali akan "memiliki" rumah mewah mereka. Sedangkan si miskin akan "berhenti" dari kemewahan yang mereka nikmati beberapa saat dan kembali dengan segala kesusahan hidup yang telah menanti.
Menurut saya acara tersebut tidak mendidik. Program ini menjual kemiskinan, apa untungnya bagi penonton dengan melihat seorang miskin menikmati "kemewahan sesaat". Saya pribadi malah tidak tega menonton acara tersebut. Sama seperti acara lain yang mirip program tersebut, di mana seorang yang miskin diberi sejumlah uang yang banyak, kemudian dalam waktu singkat ia harus membelanjakan uangnya secepat mungkin. Kalau uang tidak habis berarti hangus. Maka ia berlari-lari dari toko ke toko membeli barang yang ia impikan.
Setelah usai bertukar nasib, bisa jadi keluarga si miskin (anak, istri) lupa bersyukur atas yang telah Allah berikan pada ayah/suaminya. "Seandainya ayahku direktur, seandainya suamiku memiliki harta banyak," dan pengandaian lain yang hanya memperpanjang angan-angan.
Boleh jadi maksud pemilik program ingin membuat si miskin menikmati yang namanya "menjadi kaya" walau sesaat. Namun menurut saya mudharat nya bagi si miskin dan keluarganya lebih besar lagi.
Mungkin yang cukup jadi penyeimbang adalah hikmah yang dapat dipetik keluarga si kaya, bahwasanya mereka harus mensyukuri nikmat berlebih yang telah diberikan pada mereka.